Sad Darsana sebagai filsafat Hindu
Dalam tradisi
intelektual India Darsana merupakan padanan yang paling mendekati istilah
filsafat (barat), namun secara esensial ada perbedaan yang sangat mendasar,
filsafat (barat) terlepas dari agama sedangkan darsana tetap mengakar pada
agama Hindu. Kata darsana berasal dari urat kata ‘drs’ yang berarti melihat (ke
dalam) atau mengalami, menjadi kata darsana yang artinya penglihatan atau
pandangan tentang realitas. ‘Melihat’ dalam koteks ini bisa bermakna observasi
perseptual atau pengalaman intuitif. Secara umum ‘darsan’ berarti eksposisi
kritis, survei logis, atau sistem-sistem, yang lebih lanjut menurut
Radhakrisnan kata ‘darsana’ menandakan sistem pemikiran yang diperoleh melalui
pengalaman intuitif dan dipertahankan, diberlanjutkan melalui argumen logis.
Kata darsana sendiri dalam pengertian filsafat pertama kali digunakan dalam
Waisesika sutra karya Kanada.
Filsafat Hindu
(darsana) merupakan proses rasionalisasi dari agama dan merupakan bagian
integral dari agama Hindu yang tidak bisa dipisah-pisahkan. Agama memberikan
aspek praktis ritual dan darsana memberikan aspek filsafat, metafisika, dan
epistemology sehingga antara agama dan darsana sifatnya saling melengkapi.
Darsana muncul dari usaha manusia untuk mencari jawaban-jawaban dari
permasalahan yang sifatnya transenden, dan yang menjadi titik awalnya adalah
kelahiran dan kematian. Mengapa manusia itu lahir?, apa yang menjadi tujuan
kelahiran manusia? dan apa yang hilang ketika manusia mati?,
pertanyaan-pertanyaan inilah yang menjadi titik awal dari darsana.
Filsafat Hindu sering
kali dianggap Atman sentris, artinya semuanya dimulai dari Atman dan akhirnya
berakhir pada Atman. Dalam proses pembelajarannya selalu mengarahkan pada
tujuan hidup tertinggi yaitu Moksa, semua proses pikiran dan perasaan selalu
diarahkan menuju tujuan tersebut. Sehingga filsafat Hindu bukanlah proses
pemikiran yang kering dan tanpa tujuan. Realisasi atman menjadi tujuan setiap
darsana walaupun dalam berbagai kapasitas yang berbeda, Veda menyatakan “ Atma
va’re drastavyah “ (Atman agar direalisasikan) atau kembalinya kedudukan
asli atman sebagai pelayan abadi Tuhan. Atman merupakan asas inti dari setiap
kehidupan sehingga harus dipahami keberadaannya.
Pada intinya secara
esensial, dalam konteks agama maupun darsana, terdapat sebuah landasan
bahwasannya didalam diri manusia terdapat asas yang sifatnya abadi dalam diri
manusia, yaitu atman. Atman sebagai asas roh dan badan sebagai asas materi,
atman sebagai entitas yang independent dan kekal selalu bersifat murni terbebas
dari berbagai mala (kekotoran). Mengembalikan atman yang sifatnya abadi
menuju sumber keabadian inilah yang menjadi tujuan bersama antara darsana dan
agama. Atman didalam Bhagavad Gita digambarkan sebagai berikut :
- Acchedya artinya tidak terlukai oleh senjata.
- Adahya artinya tidak dapat terbakar.
- Akledya artinya tak terkeringkan.
- Acesyah tak terbasahkan.
- Nitya artinya abadi.
- Sarwagatah artinya ada dimana mana.
- Sthanu artinya tidak berpindah pindah
- Acala artinya tidak bergerak.
- Sanatama artinya selalu sama.
- Awyakta artinya tidak terlahirkan.
- Achintya artinya tidak terpikirkan.
- Awikara artinya tidak berubah.
Karena sifat darsana
sebagai pandangan yang merupakan akibat dari aktifitas ‘melihat’, maka dapat
disadari bahwa ada beberapa pandangan (darsana) dalam tradisi intelektual
India, secara umum filsafat India (Veda) dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu
:
- Pandangan yang orthodox, disebut juga Astika, kelompok ini secara langsung maupun tidak langsung mengakui otoritas Veda sebagai sumber ajarannya. Terdiri dari 6 aliran filsafat (Sad Darsana) yang pada akhirnya disebut sebagai filsafat Hindu, terdiri dari : Nyaya, Vaisesika, Samkhya, Yoga, Purwwa Mimamsa, Wedanta (Uttara Mimamsa).
- Pandangan yang heterodox , disebut juga Nastika, kelompok ini tidak mengakui otoritas Veda sebagai sumber ajarannya. Terdiri dari Carwaka, Jaina, dan Buddha.
Enam aliran filsafat
Hindu (sad darsana) merupakan konsep yang saling berhubungan satu sama lain :
1. Nyaya dan Waiseika, 2. Samkhya dan yoga, 3. Mimamsa dan Wedanta. Waisesika
merupakan tambahan dari Nyaya, Yoga merupakan tambahan dari Samkhya, dan
Wedanta merupakan satu perluasan dan penyelesaian dari Samkhya.
Wedanta (puncak ajaran
Weda) sebagai filsafat yang muncul secara langsung dari teks-teks upanisad
merupakan system filsafat yang dianggap paling memuaskan. Dari
penafsiran-penafsiran filsafat Wedanta muncul berbagai aliran pemikiran antara
lain : konsep adwaita dari Sankaracarya, konsep wisistadwaita dari
Ramanujacarya, dan konsep dwaita dari Sri Madhwacarya, konsep Acintya bheda
abheda tattva dari Sri Caitanya. Tiap-tiap pemikiran filsafat ini mebicarakan
tiga masalah pokok yaitu : mengenai Brahman, Alam, dan atman (roh). Selain
ketiga aliran pemikiran yang muncul dari filsafat Wedanta tersebut, masih
terdapat beberapa aliran pemikiran lainnya namun sifatnya lebih pada
penggabungan dari tiga konsep pemikiran tersebut.
3. Sekilas Filsafat
Nastika
A. Carwaka
Filsafat carwaka
didirikan oleh Brhaspati yang ajarannya tertuang dalam Brhaspati sutra. Sistem
filsafat ini mengembangkan tradisi heterodok, atheisme dan materialisme. Sering
disebut dengan lokayata yang berarti berjalan dijalan keduniawian. Kata carwaka
sendiri berasal dari kata ‘caru’ yang berarti manis dan ‘vak’ yang berarti
ujaran, jadi carwaka berarti kata-kata yang manis. Carwaka mengajarkan tentang
kenikmatan indrawi yang merupakan tujuan tertinggi hidup. Carwaka juga berarti
seorang materialis yang mempercayai manusia terbentuk dari materi, dan tidak
mempercayai adanya atman dan Tuhan, bentuk inilah yang menyebabkan ia sering
dianggap sebagai hedonisme timur. Pengetahuan yang valid hanya didapatkan
dengan pratyaksa (persepsi), yaitu melalui kontak langsung dengan indriya. Alam
hanya terbentuk oleh 4 bhuta, elemen zat, yaitu : udara, api, air, dan tanah.
Tujuan tertinggi dari manusia rasional adalah mencapai kenikmatan yang
sebenar-benarnya di dunia, dan menghindari penderitaan. Adapun inti ajaran carwaka
adalah :
- Tanah, air, api, dan udara adalah elemen dari alam semesta.
- Tubuh, indra, dan objek-objek merupakan hasil kombinasi dari berbagai elemen alam.
- Kesadaran muncul dari material seperti sifat alkohol anggur yang muncul dari anggur yang dipermentasi.
- Tidak ada roh, yang ada adalah tubuh yang sadar
- Kepuasan adalah satu-satunya tujuan hidup manusia.
- Kematian adalah pembebasan.
B. Jaina
Filsafat jaina
merupakan sistem filsafat yang mengembangkan tradisi atheisme namun spiritual,
kata jaina sendiri berarti ‘penakluk spiritual’. Pengikut jaina mempercayai 24
tirthangkara (pendiri keyakinan), tirthangkara pertama adalah Rsabhadeva dan
yang terakhir adalah Mahavira. Sistem ini menekankan pada aspek etika yang
ketat, yang terutama adalah ahimsa. Jaina mengklasifikasikan pengetahuan
menjadi 2, yaitu :
- Aparoksa : pengetahuan langsung, terdiri dari avadhi (kemampuan melihat hal-hal yang tidak nampak oleh indra), manahparyaya (telepathi), dan kevala (kemahatahuan).
- Paroksa : pengetahuan antara, terdiri dari mati (mencakup pengetahuan perseptual dan inferensial) dan sruta (pengetahuan yang diambil dari otoritas)
Jaina menerima tiga
jenis pramana, yaitu pratyaksa (persepsi), anumana (inferensi),
dan sruta (otoritas). Jaina meyakini tentang adanya pluralisme roh,
terdapat roh-roh sesuai dengan banyaknya tubuh. Tidak hanya roh dalam manusia,
binatang, dan tumbuhan, tapi meyakini hingga roh-roh yang ada dalam debu. Roh
memiliki kualifikasi tinggi dan rendah, namun semuanya mengalami belenggu dalam
pengetahuan yang terbatas. Belenggu dapat dihilangkan dengan :
- keyakinan yang sempurna terhadap ajaran guru-guru jaina.
- Pengetahuan benar dalam ajaran-ajaran tersebut.
- Perilaku yang benar. Perilaku ini meliputi, tidak menyakiti dan melukai seluruh mahluk hidup, menghindari kesalahan mencuri, sensualitas, dan kemelekatan objek-objek indriya.
Dengan tiga hal
tersebut maka perasaan akan dikendalikan, dan karma yang membelenggu roh akan
hilang, hingga roh mencapai kesempurnaan alamiahnya yang tak terbatas. Jaina
tidak mempercayai dengan adanya Tuhan, para tirthangkara menggantikan
tempatNya. Jaina mengenal lima disiplin spiritual, yang terdiri dari :
- Ahimsa (non kekerasan)
- Satya (kebenaran)
- Asteya (tidak mencuri)
- Brahmacarya (berpantang dari pemenuhan nafsu, baik pikiran, kata-kata, dan perbuatan)
- Aparigraha (kemelekatan dengan pikiran, kata-kata, dan perbuatan)
C. Buddha
Filsafat Buddha lahir
dari ajaran-ajaran Buddha Gautama pada abad 567 sm, ajarannya dapat dikatakan bersifat
atheisme dan spiritual. Buddha menekankan pada etika, cinta kasih,
persaudaraan, menolak sistem kasta (penympangan sistem Varna), dan menolak
otoritas Weda dan pelaksanaan yajna. Tujuan akhir perjalanan hidup manusia
adalah nirwana, bukan sebagai karunia Tuhan dan Dewa-Dewa, namun diperoleh
melalui usaha diri sendiri. Pencerahan yang didapatkan oleh Sidharta Gautama
meliputi empat kebenaran utama (catvari arya-satyani), yaitu :
- Kebenaran bahwa ada penderitaan.
- Kebenaran bahwa ada penyebab penderitaan.
- Kebenaran bahwa ada penghentian penderitaan.
- Kebenaran bahwa ada yang menghilangkan penderitaan.
Ajaran Buddha sering
pula disebut dengan ‘jalan tengah’ (madhyama marga), ajaran-ajaran
pokoknya dibukukan dalam tiga kitab suci (tripitaka yang berarti tiga keranjang
pengetahuan), yang terdiri dari : Vinaya pitaka yang membahas tata laksana bagi
masyarakat umum, Sutta pitaka yang membahas upacara-upacara dan dialog
berkaitan dengan etika, dan Abhidhamma pitaka yang berisi eksposisi teori-teori
filsafat Buddha. Kebenaran bahwa ada yang menghilangkan penderitaan, terdiri
dari 8 jalan utama, yaitu :
- Pandangan yang benar (samyagdrsti)
- Determinasi yang benar (samyaksamkalpa)
- Perkataan yang benar (samyalgwak)
- Perilaku yang benar (samyakkarmanta)
- Cara hidup yang benar (samyagajiva)
- Usaha yang benar (samyagvyayama)
- Sikap pikiran yang benar (samyaksmrti)
- Konsentrasi yang benar (samyaksamadhi)
Doktrin Buddha tidak
mengakui eksistensi Atman dan Tuhan, namun mengadopsi bentuk keyakinan seperit
hukum karma, reinkarnasi, dan pembebasan (nirwana)
4. Filsafat Astika (
Sad Darsana)
a. Nyaya Darśana
Nyaya darsana merupakan
merupakan dasar dan pengantar dari seluruh pengajaran filsafat Astika yang
dianut oleh umat Hindu dewasa ini. Nyaya Sutra yang digunakan sebagai sumber
dari filsafat Nyaya ditulis oleh Rsi Gautama atau sering pula dikenal dengan
nama Aksapada atau Dirghatapas. Nyaya berarti ‘argumentasi’, sehingga sering
pula disebut sebagai Tarka vada atau diskusi tentang suatu darsana atau
pandangan filsafat. Didalam Nyaya darsana sendiri terkandung ilmu perdebatan (Tarka
vidya) dan ilmu diskusi (vada vidya) yang berarti bersifat analitik
dan logis. Dari konsep ini maka dapat diketahui bahwasannya Nyaya menekankan
pada aspek logika dan nalar dengan pendekatan ilmiah dan realisme.
Nyaya merupakan alat
utama untuk meyakini sesuatu dengan penyimpulan yang tak terbantahkan, yang
dilalui dengan pengujian dengan berbagai argumentasi dan melewati berbagai
perbantahan sehingga membentuk suatu keyakinan yang penuh. Menurut konsep
Nyaya, pengetahuan menyatakan 4 kadaan, yaitu :
- Subyek atau si pengamat (pramata)
- Obyek (Prameya)
- Keadaan hasil dari pengamatan (Pramiti)
- Cara mengetahui (Pramana)
Obyek yang diamati (Prameya)
berjumlah 12, yaitu :
- Roh (Atman)
- Badan (Sarira)
- Indriya
- Obyek Indriya (Artha)
- Kecerdasan (Buddhi)
- Pikiran (Manas)
- Kegiatan (Pravrrthi)
- Kesalahan (dosa)
- Perpindahan (Pretyabhava)
- Buah atau hasil (Phala)
- Penderitaan (Duhkha)
- Pembebasan (Apawarga)
Nyaya darsana yang
bertindak pada garis ilmu pengetahuan, menghubungkan Vaisesika pada tahapan
dimana materi-materi spiritual (adhyatmika) seperti: jiwa (roh pribadi),
jagat (alam semesta), Isvara (Tuhan), dan Moksa (pembebasan), yang disbut Apawarga
oleh Vaisesika. Nyaya dan Vaisesika mempercayai Tuhan yang berpribadi,
kejamakan dari roh dan alam semesta yang berupa atom-atom. Nyaya Darsana
mendiskusikan kebenaran mendasar melalui bantuan 4 cara pengamatan (Catur
Pramana) :
- Pratyaksa pramana (pengamatan langsung).
- Anumana pramana (melalui penyimpulan).
- Upamana pramana (melalui perbandingan).
- Sabda pramana (melalui penyaksian).
Pratyaksa pramana
Pratyaksa pramana atau
pengamatan secara langsung melalui panca indriya dengan obyek yang diamati,
sehingga memberi pengetahuan tentang obyek-obyek, sesuai dengan keadaannya. Pratyaksa
pramana terdiri dari 2 tingkat pengamatan, yaitu :
- Nirwikalpa pratyaksa (pengamatan yang tidak menentukan) pengamatan terhadap suatu obyek tanpa penilaian, tanpa asosiasi dengan suatu subyek,
- Savikalpa pratyaksa (pengamatan yang menentukan) pengamatan terhadap suatu obyek dibarengi dengan pengenalan cirri-ciri, sifat-sifat dan juga subyeknya.
Anumana pramana
Anumana pramana
merupakan hasil yang diperoleh dengan adanya suatu perantara diantara subyek
dan obyek, dimana pengamatan langsung dengan indra tidak dapat menyimpulkan
hasil dari pengamatan. Perantara merupakan suatu yang sangat berkaitan dengan
sifat dari obyek.
Proses penyimpulan
melalui beberapa tahapan, yaitu :
- Pratijna : memperkenalkan obyek permasalahan tentang kebenaran pengamatan.
- Hetu : alasan penyimpulan
- Udaharana : menghubungkan dengan aturan umum itu dengan suatu masalah.
- Upanaya : pemakaian aturan umum pada kenyataan yang dilihat.
- Nigamana : penyimpulan yang benar dan pasti dari seluruh proses sebelumnya.
Upamana pramana
Upamana pramana
merupakan cara pengamatan dengan membandingkan kesamaan-kesamaan yang munkin
terjadi atau terdapat dalam suatu obyek yang di amati dengan obyek yang sudah
ada atau pernah diketahui.
Sabda pramana
Sabda pramana merupakan
pengetahuan yang diperoleh melalui kesaksian dari orang-orang yang dipercaya
kata-katanya, ataupun dari naskah-naskah yang diakui kebenarannya. Kesaksian
terdiri dari 2 jenis :
- Laukika sabda : kesaksian yang didapat dari orang-orang terpercaya dan kesaksiannya dapat diterima akal sehat,
- Vaidika sabda : kesaksian yang didasarkan pada naskah-naskah suci Veda sruti.
Tuhan, Jiwa dan Alam
Semesta
Dalam konsep Nyaya,
seluruh perbuatan manusia di dunia menghasilkan buah dari perbuatan yaitu adrsta.
Adrsta berada dibawah pengawasan langsung dari Tuhan, dan sekaligus berperan
pada nasib setiap individu. Tuhan merupakan kepribadian yang terbebas dari
pengetahuan palsu (mithya jnana), kesalahan (adharma), kelalaian
(pramada). Beliau adalah esa memiliki pengetahuan abadi (nitya
jnana), kehendak kegiatan (iccha kriya), beliau pula bersifat
meresapi segala (wibhu).
Jiwa merupakan
keberadaan nyata yang keseluruhan dan kesatuannya abadi. Sifat-sifat jiwa
adalah keengganan, kemauan, kesenangan, derita, kecerdasan, dan intuisi. Obyek
yang menyatakan ‘aku’ adalah jiwa, dan ia bersifat abadi walau badannya telah
hancur.
Alam semesta merupakan
gabungan atom-atom yang abadi (paramanu), yang terdiri dari unsur-unsur
fisik, yaitu : tanah (prthiwi), air (apah), api (tejas),
dan udara (vayu)
Keterikatan dan
Pembebasan
Dunia tersusun atas
kesalah pengertian (mithya jnana), kesalahan (dosa), kegiatan (prawrrti),
kelahiran (janma), dan penderitaan (duhkha). Mithya jnana
merupakan awal dari penderitaan yang menyebabkan kesalahan tentang suka dan
tidak suka (raga-dwesa). Dari raga-dwesa muncullah perbuatan yang
baik dan jahat, sehingga terus mengalami reinkarnasi, penghapusan raga-dwesa
inilah yang menjadi pokok Nyaya darsana untuk mencapai pembebasan atau pelepasan
(apawarga). Pelepasan (apawarga) dapat dicapai dengan mendapatkan
pengetahuan yang sebenarnya, melepaskan berbagai kesalahan yaitu : kasih sayang
(raga), keengganan (dwesa) dan kebodohan (moha).
Keengganan (dwesa) termasuk rasa kemarahan, kebencian, iri hati dan
dendam. Kebodohan (moha) termasuk rasa curiga, kesombongan, kelalaian,
dan pengertian salah. Pelepasan (apawarga) merupakan pembebasan mutlak
dari penderitaan namun bukan penghilangan sang Diri, ia hanya bersifat
penghancuran belenggu.
b. Waiśesika Darśana
Waisesika darsana
didirikan oleh Rsi Kanada yang dikenal pula dengan nama Aulukya dan Kasyapa.
Pada dasarnya waisesika merupakan pengembangan dari Nyaya darsana,
prinsip-prinsip pokok mengenai hakekat sang diri dan teori alam semesta tetap
sama. Waisesika mengambil nama ‘visesa’ yang berarti kekhususan
yang merupakan pembeda ciri-ciri dari benda-benda. Vaisesika dimulai dengan
pencarian atas kategori-kategori (padartha) yaitu penghitungan
sifat-sifat tertentu yang dapat dikatakan tentang benda-benda yang ada. Sebuah padartha
merupakan suatu obyek yang dipikirkan (artha) dan diberi nama (pada).
Padartha dalam vaisesika darsana berjumlah 7 kategori, yaitu :
- Drawya : benda-benda atau substansi yang berjumlah 9 substansi, yaitu : tanah (prthivi), air (apah), api (tejah), udara (vayu), ether (akasa), waktu (kala), ruang (dis), roh (jiwa), dan pikiran (manas). Empat drawya pertama dan drawya terakhir (pikiran) merupakan substansi abadi yang tidak meresapi segalanya namun dalam persenyawaan sifatnya tidak abadi
- Guna : sifat-sifat atau ciri-ciri dari substansi, terdiri dari : rupa atau warna, rasa, bau (gandha), sentuhan (sparsa), jumlah (samkhya), ukuran (parimana), keanekaragaman (prthaktva), persekutuan (samyoga), keterpisahan (vibhaga), keterpencilan (paratva), kedekatan (aparatva), bobot (gurutva), keenceran (dravatva), kekentalan (sneha), suara (sabda), sifat pembiakan sendiri (samskara), budhi (pemahaman), sukha (kesenangan), penderitaan (duhkha), kehendak (iccha), kebencian (dvesa), usaha (prayatna), kebajikan (dharma), kekurangan/cacat (adharma). 8 guna yang terakhir merupakan sifat dari roh, sedangkan yang lain milik dari substansi material.
- Karma : kegiatan yang terkandung dalam gerakan, terdiri dari gerakan keatas (utksepana), gerakan kebawah (avaksepana), gerakan membengkok (A-kuncana), gerakan mengembang (prasarana), gerakan menjauh dan mendekat (gamana).
- Samanya : bersifat umum yang menyangkut 2 permasalahan :1) sifat umum yang lebih tinggi dan lebih rendah, 2) jenis kelamin dan spesies.
- Visesa : kekhususan yang dimiliki oleh 9 substansi abadi (drawya)
- Samawaya : keterpaduan satu jenis, yaitu keterpaduan anatara substansi dengan sifatnya.
- Abhava : ketidakadaan dan penyangkalan terdiri dari 4 jenis, yaitu : 1). Pragabhava : ketidakadaan dari suatu benda sebelumnya, 2). Dhvasabhava : Penghentian keberadaan, 3). Atyantabhava : ketidak adaan timbal balik, 4). Anyonyabhava : ketiadaan mutlak.
Waisesika seperti
halnya Nyaya darsana menyatakan bahwa penciptaan alam semesta didasarkan pada
dua penyebab, yaitu nimita sebagai penyebab efisien dan upadana sebagai
penyebab material. Isvara sebagai nimita karana menciptakan alam semesta dengan
penggunaan upadana.
c. Sāmkhya Darśana
Sri Kapila Muni
merupakan pendiri dari system filsafat samkhya, beliau sering pula disebut
sebagai putra dari Brahma dan awatara dari Sri Visnu. Kata ‘Samkhya’ berarti
jumlah, dan system dari filsafat samkhya memberikan prinsip dari alam semesta
yang berjumlah 25 prinsip (tattwas). Istilah samkhya juga dipergunakan
dalam pengertian ‘vicara’ yaitu perenungan filosofis. 25 prinsip
(tattwas) yang diberikan oleh samkhya darsana apabila dibagankan adalah
sebagai berikut :
Dalam samkhya darsana
menggunakan 3 sistem pembuktian yang disebut dengan tri pramana, yaitu : 1).
Pratyaksa pramana (pengamatan), 2). Anumana pramana (penyimpulan), 3). Apta
wakya (benar, sesuai dengan weda dan guru yang mendapatkan wahyu).
Samkhya darsana
bersifat dualistik dan pluralitas karena mengajarkan bahwasannya purusa sebagai
asas roh yang jumlahnya banyak sekali. Prakrti dan purusa merupakan asas yang
sifatnya tanpa awal (anadi), tanpa akhir dan tak terbatas (ananta).
Ketidak berbedaan diantara purusa dan prakrti merupakan penyebab dari kelahiran
dan kematian, dan pembedaan dari keduanya akan memberikan pembebasan (mukti).
Purusa bersifat tidak terikat (asanga) dan merupakan kesadaran yang
meresapi segalanya dan abadi, sedangkan Prakrti merupakan pelaku dan penikmat.
Purusa bersifat abadi dan tidak berubah, purusa hanya menjadi saksi namun
pernyataan kehadirannya seolah-olah terlibat dalam hukum reinkarnasi, hal ini
tidak lain karena kemelekatannya dengan prakrti.
Prakrti berasal dari
akar kata ‘pra’ (sebelum, ‘kr’ (membuat), jadi
prakrti artinya ‘yang mula-mula’ prakrti sering pula disebut dengan pradhana
(pokok) karena semua akibat ditemukan padanya dan merupakan sumber dari alam
semesta. Prakrti merupakan ada yang tanpa penyebab, sedangkan hasil-hasilnya
disebabkan dan bergantung padanya. Prakrti merupakan ketiadaan dari kecerdasan
yang hanya bergantung pada unsur pokok gunanya sendiri, yang terdiri dari 3
guna yaitu : 1). Sattwa (kemurnian, sinar, selaras), 2). Rajas
(nafsu, kegiatan, gerak), 3). Tamas (kegelapan, kemalasan, tanpa
kegiatan). Kata guna sendiri berarti tali yang nantinya menjadi
pembelenggu dari roh. Ketiga guna ini tidak dapat dipisahkan satu sama
lain karena sifatnya saling menunjang.
Pertemuan antara purusa
dan prakrti membuat prakrti berkembang dibawah pengaruh purusa,
pertemuan ini mulai mengguncang guna yang ada dalam prakrti sehingga membuatnya
beraktifitas. Dari prakrti muncullah benih besar alam semesta yang maha luas (Mahat).
Kesadaran roh membuatnya sebagai sesuatu yang sadar, sebagai kebangkitan alam
dari kandungan kosmis, dari penampakan pikiran pertama ini pula disebut dengan
intelek (buddhi). Produk yang kedua adalah ahamkara, sebagai rasa
aku dan milikku (abhimana). Dari ahamkara melalui ekses elemen satwa
muncullah pikiran (Manas), lima organ pengetahuan (panca budhindriya)
yang terletak di telinga, kulit, mata, lidah, hidung (srotendriya,
twagindriya, cakswindriya, jihwendriya, ghranendriya), lima organ tindakan (panca
karmendriya) yaitu : mulut, tangan, kaki, dubur dan kelamin (wagindriya,
panindriya, padendriya, paywindriya, upasthendriya), dan lima elemen halus (panca
tan matra) yang merupakan potensi dari suara, sentuhan, warna, rasa, bau.
dari elemen halus (panca tan matra) muncul lima elemen kasar (panca maha
bhuta) yaitu akasa, udara, api, air dan tanah. Akhirnya dari evolusi ini
ada alam semesta beserta isinya.
Seluruh unsur dari
pertemuan purusa dan prakrti akan selalu ada sepanjang zaman, walau dalam
bentuknya yang berbeda-beda. Seperti halnya manusia ketika mati terurai kembali
jasadnya menjadi mahabhuta. Hingga diyakini pada akhir zaman terjadi peleburan
alam semesta maka dari pergerakan evolusi, bergerak secara terbalik dan
berlawanan dan pada akhirnya semua masuk kembali kedalam prakrti, inilah yang
disebut dengan proses penyusutan atau penguncupan.
Dalam konsep samkhya,
manusia yang lahir di dunia, terikat oleh penderitaan (dukha) yang
berjumlah tiga, yaitu : 1). Adhyatmika : penderitaan yang
disebabkan oleh penyebab psiko-fisika intra organik yang mencakup semua
penderitaan fisik dan mental, 2). Adhidaiwika : penderitaan yang
disebabkan oleh penyebab super natural, 3). Adhibhautika :
penderitaan yang disebabkan penyebab alam ekstra organik seperti manusia atau
binatang. Oleh karenanyalah tujuan hidup manusia adalah terlepas dari
penderitaan tersebut, sehingga mencapai moksa yaitu penghentian total dari
semua jenis penderitaan. Jiwa yang bersifat abadi seolah-olah mengalami
penderitaan karena pengaruh awidya (kegelapan), jadi belenggu dianggap
fiksi belaka karena ego (ahamkara) yang menjadi milik dari prakrti. Maka
dari pembedaan dari jiwa dan bukan jiwalah yang seharusnya dipahami, dengan
pemahaman ini maka diharapkan jiva berhenti terpengaruh oleh suka dan duka.
Pembebasan dapat diraih ketika manusia masih hidup (jivanmukti) atau
setelah meninggal (vedeha mukti). Pembebasan tidak saja dapat dicapai
oleh pemahaman atau pembedaan antara jiwa dan bukan jiwa, namun perlu pula
menggunakan metode spiritual, inilah salah satu yang nantinya ditambahkan oleh
filsafat Yoga.
d. Yoga Darśana
Maharsi Patanjali
merupakan pendiri dari sistem filsafat Yoga yang merupakan tambahan dari
filsafat samkhya, namun pendiri dari sistematika yoga adalah Hiranyagarbha.
Kata yoga secara etimologi berasal dari kata ‘yuj’ yang berarti
menghubungkan, jadi yoga merupakan pengendalian aktivitas pikiran dalam rangka
penyatuan roh individual dengan roh tertinggi. Dalam Yoga Sutra disebutkan “
Yogas Citta Wrtti Nirodah ” . Yoga adalah pengekangan atau pengendalian
benih- benih pikiran ( citta ) dari pengambilan berbagai wujud (
perubahan : Wrtti ).
System filsafat yoga
mengakui eksistensi Isvara, sehingga bersifat Sa-Isvara. Isvara (Tuhan)
merupakan purusa istimewa yang tidak terpengaruh oleh penderitaan, beliau
merupakan asas yang kemahatahuan, yang tidak terpengaruh oleh waktu dan ruang,
abadi, terbebas selamanya. Evolusi semesta dalam yoga tetap menerima 25 tattwas
dari samkhya, namun menambahkan Isvara (Tuhan) sebagai saksi abadi.
‘Yoga Sutra’ yang
ditulis oleh Maharsi terdiri dari 4 bagian terdiri dari 196 sutra ,yang secara
garis besar isinya sebagai berikut :
- Bagian pertama disebut Samadhi-pada. Isinya menerangkan tentang sifat, tujuan dan bentuk ajaran yoga. Pada bagian ini pula dijelaskan adanya perubahan-perubahan pikiran dalam melakukan yoga.
- Bagian kedua disebut Sadhana-pada. Isinya menjelaskan tentang tahapan-tahapan pelaksanaan yoga, cara mencapai samadhin dan pahala yang akan didapat oleh mereka yang telah mencapai samadhi.
- Bagian ketiga disebut Wibhuti-pada. Isinya mengajarkan tentang hal-hal yang bersifat batiniah, tentang kekuatan gaib yang didapat oleh mereka yang melakukan praktek yoga.
- Bagian keempat disebut Kaiwalya–pada. Isinya melukiskan tentang alam kelepasan dan keadaan jiwa yang telah dapat mengatasi keterkaitan duniawi dan penyerahan diri sepenuhnya kepada Tuhan.
Pada intinya ajaran
yoga bertujuan untuk mengembalikan jiwa individu kepada kedudukan asalnya
sebagai pelayan Tuhan yang abadi dengan jalan membersihkannya dari segala
ikatan maya (Triguna). Sehingga ia sadar akan jati dirinya (Atman)
ikatan yang diakibatkan oleh perubahan citta yang muncul dari
rintangan-rintangan guna, menimbulkan kesusahan dan kesedihan di dalam
hidup yang disebut klesa. Klesa ada lima bagian yaitu :
- Awidya :Kebodohan.
- Asmita : Keakuan.
- Raga : Keterikatan.
- Dwesa : Kebencian.
- Abhiniwesa : Ketakutan dan kematian.
Kelima klesa ini
dapat dilenyapkan dengan jalan melaksanakan kriya yoga sehingga dalam
proses yoga mampu membantu guna mencapai samadhi dengan jalan melaksanakan Kriya
yoga. Adapun mengenai Kriya –Yoga di dalam Yoga Sutra ( II-1 )
disebutkan :
TAPAH SWADHYAYESWARA
PRANIDHANANI KRIYA YOGAH
Artinya :
Kesederhanaan (tapah),
mempelajari kitab suci (swadhyaya), dan penyerahan hasilnya (pengabdian
) kepada Tuhan, semuanya ini merupakan ‘ disiplin yoga yang disebut Kriya-
Yoga.
Apabila kelima klesa
tersebut belum dihilangkan, maka ia akan terus-menerus mengganggu citta atau
pikiran dalam proses pencapaian samadhi, yang diakibatkan oleh gerakan Tri
Guna .Akibatnya didalam proses yoga ada lima tingkatan keadaan mental
yang dialami bagi yang melaksanakan yoga tersebut yaitu :
- Ksipta : pikiran tidak diam-diam dan selalu mengembara.
- Mudha : pikiran itu malas.
- Wiksipta : pikiran itu bingung.
- Ekagra : pikiran itu terpusat pada satu objek.
- Nirudha : pikiran itu tenang terkendali.
Yoga secara umum
dipilah menjadi dua bagian yaitu Hatha Yoga (Gratastha Yoga ), dan
Samadhi Yoga yang salah satu bentuknya adalah Raja Yoga. Hatha yoga secara
spesifik menangani proses latihan fisik guna membentuk jasmani yang kokoh,
nantinya menjadi dasar menuju tingkatan Raja Yoga, guna kemampuan untuk
mengendalikan gerak pikiran, mengingat didalam tubuh yang sehat terdapat jiwa
yang bersih .
Maharsi patanjali
memberikan tahap–tahapan dalam pelaksanaan yoga yang lebih dikenal dengan
sebutan Astangga Yoga. Adapun pembagiannya diuraikan sebagai berikut :
YAMA NIYAMASANA
PRANAYAMA PRATYAHARA DHARANA DHYANA SAMADHA YO’STAW.ANGGANI.
Artinya :
Pengekangan diri (Yama),
kepatuhan yang mantap ( Niyama), sikap badan (Asana), pengaturan
pernafasan (Pranayama), penyaluran (Pratyahara), pemusatan
(konsentrasi: Dharana ), perenungan (Dhyana), penyerapan (Samadhi),
semuanya ini adalah bagian (dari disiplin diri dari Yoga ).
1. YAMA.
AHIMSA SATYASTEYA
BRAHMACARYAPARIGRAHA YAMAH.
Artinya :
Yama (pengekangan diri) terdiri dari tanpa kekerasan ( Ahimsa )
kebenaran (Satya), tiada mencuri (Asteya), pembujangan (Brahmacari)
dan ketiadaan keserakahan (aparigraha ).
Yama merupakan tahapan
pengendalian diri ( Moralitas ) awal yang terdiri dari lima prinsip atau
ketaatan wajib, yang merupakan kode etik universal (sarwabhauma
mahavrata) terdiri dari :
- Ahimsa berarti tidak menyakiti atau membunuh mahluk hidup, baik melalui pikiran, perkataan dan perbuatan. Pengertian ahimsa ini hendaknya tidak diterjemahkan secara ekstrem, karena bagaimanapun juga manusia tunduk pada siklus kehidupan yang mengharuskan untuk mengorbankan mahluk guna mempertahankan hidupnya. Hendaknya Ahimsa dilaksanakan dengan landasan Wiweka.
- Satya artinya berpegang teguh pada kebenaran baik dalam bentuk pikiran, perkataan dan perbuatan.
- Asteya artinya tidak menginginkan dan merebut hak orang lain ( tidak mencuri ).
- Brahmacarya artinya menjunjung tinggi kesucian diri dan orang lain dengan tidak melakukan seks bebas.
- Aparigraha artinya tidak berlebihan dalam menikmati benda kesenangan guna mempertahankan hidup /hidup puas dengan apa adanya.
2. NIYAMA
SAUCA SAMTOSA TAPAH
SWADHYAYESWARA PRANIDHANANI NIYAMAH
Artinya :
Pemurnian internal dan
eksternal ( sauca ), kepuasan ( kesejahteraan: Samtosa),
kesederhanaan (tapah), belajar sendiri ( swadyaya), dan
penyerahan diri pada Tuhan (Iswara pranidhana) semuanya ini termasuk
kepatuhan yang mantap (Niyama).
Niyama merupakan
pengendalian diri tahap kedua yang terdiri atas :
- Sauca artinya meningkatkan kesuciaan, kemurnian lahir batin.
- Santosa artinya keadaan yang menyenangkan dan wajar tanpa tekanan dan kepura- puraan sehingga tercapainya keseimbangan mental.
- Tapa artinya melakukan usaha yang sungguh- sungguh guna mencapai tujuan.
- Svadhyaya artinya mempelajari kitab- kitab suci, sehingga mampu memahami setiap permasalahan spiritual.
- Ishvara Pranidhana artinya penyerahan diri sepenuhnya kepada Tuhan.
Pelaksanaan Yama Niyama
yang merupakan kode etik universal yang di peruntukkan untuk semua golongan,
akan membentuk disiplin etika yang mempersiapkan siswa yoga, guna pelaksanaan
yoga selanjutnya. Karena bagaimanapun juga moralitas merupakan dasar spiritual,
namun perlu disadari bahwa moralitas bukanlah tujuan akhir dari perjalanan
spiritual namun lebih merupakan pondasi yang kokoh guna pencapaian yoga yang
baik. Dari kesepuluh pembagian Yama Niyama yang terpenting diantaranya adalah
Brahmacarya dan Ishvarapranidhana, sedangkan delapan lainnya merupakan
penunjang dari keduanya.
3. ASANA
STHIRA SUKHAM ASANAM
Artinya :
Sikap badan (hendaknya)
mantap dan nyaman.
Asana artinya sikap
tubuh, secara prinsip maharsi patanjali tidak mengharuskan para Yogi untuk
menggunakan posisi tertentu. Apapun pilihan asana yang disukai, dipersilahkan
asalkan mampu dipertahankan dan membangun kenyamanan guna penguasaan Citta dari
pengaruh Guna. Secara umum terdapat 8.400.000 jenis asanas, sesuai dengan
jumlah mahluk hidup yang ada di dunia ini, dari sekian banyaknya hanya 1.600
jenis yang terbaik, dan dari antaranya hanya 32 jenis yang sangat berguna bagi
manusia, dua di antaranya sangat populer yaitu, Muktapadmasana dan Baddhapadmasana.
4. PRANAYAMA
TASMIN SATI SWASA
PRASWASAYOR GATIWICCEDAH PRANAYAMAH.
Artinya :
Pengendalian gerakan
nafas masuk dan nafas keluar mengikuti setelah ini
Pranayama merupakan
ilmu tentang cara pengendalian nafas melalui pengaliran prana. Sehingga mampu
membawa pikiran dalam keadaan tenang (laghawa) dan mudah untuk
berkonsentrasi. Kondisi nafas dalam kehidupan secara normal yaitu puraka
(nafas masuk), rechaka (nafas keluar) dan kumbhaka (penahanan
nafas dia antara dua geraka di atas). Napas yang dipimpin oleh pikiran,
merupakan tenaga yang kuat dalam menghidupkan kembali sel-sel tubuh, yang
digunakan untuk pengembangan diri sehingga mampu mengatasi berbagai penyakit
dan dengan pranayama maka nadi-nadi akan menjadi bersih sehingga mampu
membantu bangkitnya kundalini.
Olah nafas terdiri dari
berbagai jenis, yang lebih lanjut diterangkan dalam Yoga Kundalini
sebagai contoh, salah satunya yaitu Sukh Purvak. Sukh Purvak
merupakan pranayama ringan dan menyenangkan “ Duduk dengan Padmasana atau
Siddhasana. Tutup lobang hidung kanan dengan jempol tangan kanan. Menghisap
napas (Purvak) melalui lobang hidung kiri perlahan-lahan dengan menghitung 3
kali OM ( OM, OM, OM ). Pikirkan bahwa kamu lagi menghisap prana dengan
memasukkan hawa. Lalu tutup lobang hidung kiri juga dengan jari manis dan
kelingking kanan. Tahan nafasmu dengan menghitung 12 kali OM. Tengah menahan
nafas, pikirkan bahwa kamu mengalirkan prana kebawah Muladhara Chakra.
Bayangkan juga prana itu memukul Muladhara Chakra dan membangunkan kundalini.
Lepaskan jempol kananmu dengan menghitung 6 kali OM “. begitulah hendaknya
diulang terus-menerus.
5. PRATYAHARA
SWA WISAYASAMPRAYOGE
CITTA SWARUPANUKARA IWENDRIYANAM PRATYAHARAH
Artinya :
Pratyahara atau
penarikan organ indra, adalah peniruan indra-indra oleh pikiran dengan
penarikannya sendiri dari obyek-obyeknya.
Pratyahara merupakan
penarikan Indria dari obyek- obyek duniawi di bawah pengawasan pikiran, karena
Indria cenderung untuk menikmati obyek- obyek yang disenangi, sehingga
menggoyahkan pikiran sehingga perlu untuk mengendalikan dan menariknya dari
obyek duniawi.
6. DHARANA
DESA BANDHAS CITTASYA
DHARANA
Artinya :
Dharana merupakan
pemusatan pikiran dalam satu wilayah mental yang dibatasi.
Dharana artinya
pemusatan pikiran secara terfokus pada suatu obyek perwujudan Tuhan Yang Maha
Esa baik dalam aspek Paramatman, Brahman maupun Bhagavan.
7. DHYANA
TATRA PRATYAIKATANATA
DHYANAM
Artinya :
Aliran pengetahuan yang
terus menerus pada obyek itu, adalah dhyanam
Dhyana artinya
terpusatnya pikiran pada suatu obyek secara berkala dan terus-menerus tanpa
tergoyahkan, melalui dhyana maka berkembanglah kualitas kesadaran murni.
8. SAMADHI
TAD EWARTHAMATRA
NIRBHASAM SWARUPA SUNYAM IWA SAMADHIH
Artinya :
Kontemplasi yang sama
bila terdapat hanya kesadaran terhadap objek meditasi itu sendiri dan bukan
pikiran, adalah samadhi.
Samadhi merupakan
keadaan supra sadar yang didapatkan melalui proses pemusatan pikiran yang
sangat kuat dan mendalam, terbebas dari sangkalpa dan keterikatan duniawi
sehingga mencapai mukti dan penyerahan diri sepenuhnya jiwa dengan Paramatma.
Tujuan tertinggi dari keseluruhan sistem yoga adalah keterpisahan mutlak antara
purusa dan prakrti, yaitu tercapainya kaiwalya atau kemerdekaan mutlak.
Bebasnya purusa kedalam wujud yang sebenarnya (swarupa) tidak lagi bergantung
pada apapun didunia ini.
e. Mīmāmsa Darśana
Filsafat mimamsa atau
sering pula disebut purwa mimamsa didirikan oleh Sri Jaimini, yang merupakan
penyelidikan ke dalam bagian kitab suci Weda. Disebut pula purwa mimamsa
karena dianggap lebih awal dari uttara mimamsa (Wedanta) dalam pengertian
logika, namun bukan dalam pengertian kronologis. Kata ‘mimamsa’ berarti
menganalisa dan mengerti seluruhnya, yang pada intinya memberikan landasan
filsafat pada ritual-ritual dalam Weda. Ada dua dukungan yang diberikan oleh
mimamsa, yaitu :
- memberikan sebuah metodelogi interpretasi agar ajaran-ajaran Weda yang rumit mengenai ritual-ritual bisa dipahami, diharmoniskan dan diikuti tanpa kesulitan.
- dengan menyediakan suatu justifikasi filsafat ritualisme.
Sri Jaimini menerima 3
pramana tentang pengamatan, yaitu : 1). Pengamatan (pratyaksa), 2).
Penyimpulan (anumana), dan 3). Otoritas pembuktian atau Weda (Sabda).
Menurut mimamsa, Weda merupakan apuruseya atau bukan karya manusia, oleh
karenanya weda terbebas dari berbagai bentuk kesalahan yang di buat oleh
manusia. Dalam sutra pertama mimamsa sutra disebutkan ‘athato dharmah
jijnasa’ yang sekaligus menjadi kesimpulan dari tujuan filsafatnya,
yaitu untuk mengetahui dharma dan kewajiban dalam pelaksanaan upacara yang
dilaksanakan dalam kitab suci Weda.
Kitab Weda yang
termasuk sruti merupakan otoritas tertinggi dalam pelaksanaannya yang niscaya
mengantarkan umat menuju kebahagiaan sejati. Dilanjutkan dengan smrti pada
urutan kedua, yang apabila bertentangan dengan sruti, maka smrti dapat
diabaikan. Hal ini sebenarnya telah ditegaskan pula di dalam kitab Manawa
Dharmasastra II.6 mengenai garis otoritas yang patut dipedomani, yaitu :
Wedo’kilo dharma mulam
Smrti’sile ca tadwidam
Acara’scaiwa sadhunem
Atmanastustirewa
Artinya :
Seluruh weda merupakan
sumber utama dari pelaksanaan dharma, kemudian barulah smrti disamping sila,
kemudian acara (tradisi para orang suci), serta akhirnya atmanastuti (kepusan
diri sendiri).
Dalam pandangan Rsi
Jaimini, pelaksanaan korban suci (yajna) hendaknya dilakukan dengan
mekanisme yang tepat. Dilandasi dengan keyakinan (sradha) dan kepatuhan
(bhakti) sehingga bisa memberikan manfaat dalam mencapa kelepasan. Pada
intinya korban suci merupakan pengorbanan kepentingan diri, keakuan dan raga
dwesa (rasa suka dan benci). Dari sini pula umat diwajibkan melaksanakan nitya
karma seperti sandhya dan naimitika karma selama ada kesempatan, ini
merupakan kewajiban tanpa syarat.
Sang diri sejati
menurut mimamsa berbeda dengan indriya dan intelek, ia merupakan penikmat
sedangkan badan merupakan tempat untuk mengalami dan indriya sebagai peralatan
untuk mengalami. Sang diri seolah merasakan karena menyatu dengan badan, ia
sesungguhnya bukanlah indriya dan selalu abadi walau badan dan indriya telah
hancur. Pelaksanaan korban akan mengantar manusia untuk mencapai sorga.
f. Wedānta Darśana
Wedanta (Vedanta) yang disebut juga Uttara
Mimamsa merupakan sistem filsafat yang bersumber langsung pada Weda.
Wedanta berarti “bagian akhir Weda“. Bagian akhir Weda
disebut dengan istilah upanisad yang artinya “duduk dekat dengan guru”
dalam rangka menerima ajaran-ajaran rahasia Tuhan melalui seorang guru. Sumber
filsafat Vedanta dari kitab-kitab; Upanisad, Bhagavad-gita
dan Brahma-sutra, yang ketiganya disebut Prastana-traya.
Usaha pertama yang
dilakukan untuk menyusun ajaran Upanisad secara sistematis dilakukan oleh Badarayana
(Sri Wyasa) di dalam kitabnya yang disebut Wedanta-sutra atau Brahma-sutra
(kira-kira 400 Sebelum Masehi). Wedanta-sutra yang terdiri dari 555
sutra dibagi menjadi empat bab, yaitu Bab I, menunjukkan bahwa Tuhan adalah
realitas tertinggi. Bab II, membicarakan keberatan-keberatan yang diajukan oleh
orang-orang yang tidak menyetujuainya serta menunjukkan bahwa ajaran-ajaran
yang tidak sesuai dengan Wedanta tidak dapat dipertahankan. Bab III,
membicarakan tentang cara pencapaian Brahma widya. Bab IV, membicarakan
tentang buah dari Brahma widya dan juga uraian tentang bagaimana roh
pribadi dapat mencapai Brahman.
Filosofi kehidupan Vedanta
merupakan pelengkapan dan penyempurnaan filsafat hidup Mimamsa.
Kehidupan bagi mereka yang mengasingkan diri dari aktivitas dunia (sannyasin)
termasuk dalam tahap terakhir dari Catur Asrama dan dipandang sebagai
kulminasi kehidupan setiap orang.
Berikut adalah
rumusan-rumusan dalam konsep Wedanta yang terkenal :
- Ekam Ewa Adwityam : Realitas hanya satu, tiada yang ke dua.
- Brahman Satyam Jagan Mithya, Jiwo Brahmaiwa Na Aparah : Sesungguhnya hanya keberadaan Brahman (Tuhan), dunia bersifat sementara, roh pribadi dan Brahman secara kualitas sama.
- Sarwam Khalwidam Brahma : Sesungguhnya semua ini adalah bersumber dari Brahman.
- Satya Jnanam Anantam Brahma : Brahman adalah pengetahuan dan tak terbatas
- Brahmawid Brahmaiwa Bhawati : Yang mengetahui Brahman adalah Brahman
- Santam Siwam Adwaitam : Brahman adalah kedamaian , keberuntungan dan tanpa dualitas
- Ayam Atma Santah : Atman ini adalah keheningan
- Asanggo Ayam Purusa : Purusa ini tak tersentuh
- Santam, Ajaram, Amrtam, Abhayam, Param : Brahman ini adalah kedamaian, tanpa usia tua, abadi, tanpa kekuatan, dan tertinggi.
Tuhan dalam konsep Wedanta
bersifat mutlak dengan memiliki tiga aspek yang tidak bisa dipisahkan, yaitu
Bhagavan (Tuhan yang berwujud pribadi), Brahman (Tuhan impersonal) dan
Paramatman (Tuhan yang meresap dalam segala sesuatu). Tuhan merupakan penyebab
material dan instrumental dari alam semesta. Tuhan mengembangkan dirinya
menjadi alam semesta guna lila dan kridaNya, namun beliau tetap
utuh dan tidak berubah. Tuhan merupakan paramarthika satta (realitas mutlak),
alam dunia adalah wyawaharika satta (realitas relatif), dan obyek-obyek
dari mimpi adalah prathibasika satta (realitas yang nyata).
Maya merupakan karana sarira dari Tuhan, namun
demikian maya merupakan sakti (kekuatan) dari Tuhan. Maya
memiliki 2 kekuatan, yaitu daya menyelubungi (awarana sakti) dan daya
pemantulan (wiksepa sakti). Inilah yang menyebabkan tersembunyinya yang
nyata dan membuat yang tidak nampak menjadi nyata. Jiwa atau roh dalam diri
manusia diselubungi oleh lima lapisan yang disebut Panca Kosha
yaitu : anna maya, prana maya, mano maya, wijnana maya, dan ananta
maya ( badan fisik ).
Anna maya kosa merupakan lapisan
makanan yang terdiri dari unsur : tanah,air, api, yang berada pada cakra- cakra
terbawah yaitu muladhara, swadisthana, dan manipur cakra. Lapisan
kedua yaitu prana maya kosha merupakan lapisan nafas (prana)
terletak pada anahata dan wisudha cakra. Lapisan berikutnya yaitu
manomaya kosha dan wijnana maya kosha merupakan pembentuk jiwa
antah karana yang terdiri dari empat kesatuan yaitu jiwa kecerdasan terdiri
dari dua aspek yaitu budhi dan manas, kesadaran ego ( Ahamkara ) dan Chitta
berada pada Ajna Chakra dan sedikit diatas cakra ini. Dan yang
terakhir yaitu ananda maya kosha berada di tengah- tengah kepala ( Sahasram
) cakra yang merupakan tempat atma dari lapisan jiwa terakhir.
Demikianlah panca kosha
sebagai selubung dari atma.”Di dalam lapisan pertama Iswara memanifestasikan
diri menjadi keanekaragaman kesadaran terhadap wujud misalnya hitam atau putih,
pendek atau tinggi, tua atau muda. Di dalam lapisan prana maya kosha,
Dia merasa hidup merasa lapar dan haus, sakit dan sehat. Di dalam lapisan
mental dia berfikir dan memahami. Dan di dalam lapisan anandam Dia
berbahagia dan ingin tinggal di dalam kebahagiaan abadi.
ALIRAN FILSAFAT WEDANTA
( Filsafat Skolastik )
Brahma sutra atau
Wedanta sutra karya Wyasa merupakan kitab yang paling populer dan banyak diulas
oleh para maharsi setelahnya, ia bagaikan sumber air yang terus mengalir dari
generasi ke generasi. Ulasan-ulasan terhadap Brahma sutra oleh para maharsi
seperti Sri Sankaracarya, Sri Ramanujacarya, dan Sri Madhawacarya membentuk
filsafat Adwaita, Wisistadwaita, dan Dwaita. Wedanta darsana yang tumbuh
dari andasan kitab Upanisad, Brahma sutra, dan Bhagawad gita. Ketiga kitab
tersebut sering pula disebut prasthana traya grantha (naskah suci
yang dapat dipercaya). Ketiga aliran pemikiran yang mengalir dari Wedanta
darsana tetap berpegang pada otoritas Weda dalam kerangka pembahasan yang
berbicara tentang Tuhan, Alam, dan roh. Namun dalam konteks ajaran Hindu
ketiganya tidaklah dianggap sebagai aliran pemikiran yang terpisah dan
bertentangan, tetapi bagaikan tangga spiritual yang dimulai dari Adwaita,
Wasistadwaita dan berakhir pada Dwaita.
1. Filsafat Adwaita
Sri Sankara merupakan
yang melahirkan bentuk akhir dari filsafat adwaita, walaupun yang pertama
mensistematis filsafat ini adalah parama guru dari Sankara, yaitu Rsi Gaudapada
melalui karya beliau Mandukya Karika. Sri Sankara memberikan sentuhan akhir dan
sempurna melalui ulasan beliau tentang Brahma Sutra yang dikenal dengan
Sariraka Bhasya. Filsafat Adwaita dari Sankara merupakan filsafat yang
menyatakan bahwa seluruhnya merupakan Brahman, dan perbedaan hanyalah khayalan.
Hal ini tersimpul alam salah satu sloka, yaitu ‘ Brahma Satyam Jagan
Mithya, Jivo Brahmaiva Na Aparah’ yang berarti Hanya Brahmanlah yang
nyata, dunia ini tidak nyata, dan jiwa atau roh pribadi sama dengan Brahman.
Brahman tertinggi
adalah tak berpribadi, tanpa guna dan atribut (nirguna), tanpa
wujud (Nirakara), tanpa ciri-ciritertentu (Nirwisesa), abadi dan
bukan pelaku dan perantara (akrta). Beliau adalah subyek penyaksi dan
tidak akan pernah menjadi obyek, Beliau adalah tuggal, tak dapat digambarkan,
karena penggambaran akan membentuk perbedaan. Itu pula sebabnya dalam kitab
Upanisad disebutkan : Neti, Neti (bukan ini dan bukan itu). Bentuk
kalimat negatif dalam upanisad ini bukanlah menyatakan ketiadaan, tapi Beliau
adalah kesemestaan, tidak terbatas, memenuhi segala, tak berubah, ada dengan
sendirinya, pengetahuan dan kebahagiaan itu sendiri. Nirguna Brahman dari
Sankara menjadi Saguna Brahman (berpribadi) hanya karena disebabkan penyauannya
dengan maya. Saguna dan Nirguna Brahman bukanlah dua Brahman yang berbeda atau
bertentangan, Beliau adalah satu dari dua titik pandang yang berbeda. Nirguna
merupakan yang lebih tinggi dipandang dari sudut transedental (Paramarthika),
sedangkan Saguna dari sudut pandang relatif (Vyavaharika).
Atman adalah sang diri
yang nyata (Swatah siddha), Jiwa atau roh pribadi hanyalah kenyataan
yang relatif dan kepribadiannya akan berakhir, apabila ia tidak lagi menjadi
subyek upadhi yang tidak nyata atau kondisi terbatas yang disebabkan
oleh awidya. Selama roh pribadi menyamakan diri dengan badan dan
indriyanya, ia berpikir, berbuat, dan menikmati, itu berarti ia masih berada
dalam kondisi avidya. Pada saat ia terlepas dari awidya, maka
baru menyadari akan kesejatiannya yang tiada lain adalah Brahman yang mutlak,
sepertihalnya ether dalam sebuah periuk yang pecah, maka ia menyatu dengan
semesta.
Alam semesta pula
bukanlah suatu hayalan, namun merupakan kenyataan yang relatif (Vyavaharika
satta), yang merupakan hasil dari maya dan awidya. Brahman
yang nyata tampak sebagai alam yang berubah melalui maya. Maya merupakan daya
misterius dari Brahman yang tak terbayangkan, menyembunyikan yang nyata.
Pembebasan atau
kelepasan dari samsara atau proses tumimbal lahir merupakan penyatuan dari roh
pribadi dalam Brahman, melalui pembebasan dari kesalah dugaan yang salah bahwa
roh pribadi berbeda dengan Brahman. Karma dan bhakti merupakan proses menuju
jnana. Sankara menganjurkan teori penampakan atau pelapisan (adhyasa),
seperti halnya tali yang dibayangkan bagai ular pada saat senja.demikian pula
alam dan badan ditumpangkan pada Brahman. Apabila manusia mampu memperoleh
pengetahuan tentang tali maka bayangan tentang ular akan lenyap, demikian pula
apabila manusia memperoleh pengetahuan tentang Brahman, maka hayalan tentang
alam dan badan akan hilang. Terlepasnya mithya jnana atau pengetahuan
palsu akan mengantarkan manusia dalam kecemerlangan dan kemuliaan Ilahi yang
murni.
2. Filsafat
Wisistadwaita
Pendiri filsafat
wisistadwaita adalah Rsi Ramanuja, disebut filsafat wisistadwaita karena
penanaman pengertian adwaita atau kesatuan dengan Brahman, dengan wisesa atau
atribut. Sehingga dianggap sebagai filsafat monisme terbatas. Hanya Brahman
yang ada, sedangkan yang lainnya merupakan perwujudan atau atributnya, Beliau
merupakan satu keseluruhan yang komplek walau kenyataannya satu. Apabila Sri
Sankara menganggap bahwa segala bentuk perwujudan dianggap tidak nyata dan
sementara, sifatnya hanyalah hasil dari awidya atau kegelapan, maka
menurut Sri Ramanuja atribut itu nyata dan tetap, namun bergantung pada
pengendalian satu Brahman.
Filsafat Wisistadwaita
merupakan Waisnawaisme yang mengakui kejamakan, Brahman atau Narayana hidup
dalam kejamakan bentuk dari roh-roh (cit) dan materi (acit).
Ramanuja mensistemasir filsafat dari waisnawaisme dan disebut sebagai Sri
Waisnawaisme, karena Sri atau Dewi Laksmi dibuat memiliki fungsi penting dalam
pembebasan roh. Ramanuja menyamakan Tuhan dengan Narayana yang bersemayam di
Waikuntha dengan Saktinya yaitu Laksmi sebagai Dewi kemakmuran, yang merupakan
Ibu Tuhan, dialah yang memohonkan pembebasan dari para pemuja.
Brahman adalah
segalanya namun bukan pula bersifat serba sama, karena dalam dirinya tekandung
kejamakan yang menyebabkan dirinya benar- benar mewujudkan diri dalam alam yang
beraneka warna. Brahman dianggap berpribadi , mengatur segalanya, maha kuasa
dari alam semesta, dihidupi dan diresapi oleh jiwaNya, sehingga tidak ada
tempat untuk membedakan antara Saguna dan Nirguna. Brahman meresapi
segalanya dan merupakan intisari dari roh, yang merupakan antaryamin
atau pengatur batin yang menjadi satu dengan roh. Ia merupakan hakekat dari
kebenaran (Satya), kecerdasan , dan kebahagiaan (ananda), dimana
materi dan roh bergantung kepadanya. Beliau adalah penopang alam semesta dan
roh (adhara), serta penguasa dan pengendali (Niyanta). Jiwa atau
roh merupakan yang dikendalikan (Niyama/sesa).
Alam dan berbagai
perwujudan material keberadaan dan roh-roh pribadi, bukanlah maya yang
tidak nyata tetapi bagian nyata dari hakekat Brahman dan merupakan badan dari
Brahman. Materi adalah nyata yang merupakan substansi tanpa kesadaran yang
mengalami evolusi (parimana), karenanya ia bersifat abadi namun
bergantung dan dikendalikan oleh kehendak Tuhan. Ia membentuk obyek pengalaman
bagi roh-roh. Prakrti memiliki 3 guna, yaitu sattwa, rajas, dan tamas,
sedangkan suddha tattwa hanya memiliki sifat satwa, suddha
tattwa merupakan substansi yang membentuk badan Tuhan dan disebut dengan Nitya
WibhutiNya. Alam yang berwujud merupakan Lila WibhutiNya.
Roh merupakan prakara
dari Tuhan yang lebih tinggi dari materi karena merupakan kesatuan sadar yang
menjadi inti dari Tuhan. Roh berjumlah tiada batas, bersifat sadar dan tidak
berubah, tidak terbagi. Roh benar-benar pribadi dan secara abadi berbeda dengan
Tuhan, ia muncul dari Brahman dan tidak pernah di luar Brahman sepertihalnya
percikan api dari sumber api. Roh menurut Ramanuja digolongkan menjadi 3, yaitu
: Nitya (abadi), Mukta (bebas), dan Baddha (terbelenggu).
Roh yang abadi, selamanya bebas dari belenggu hidup dengan Tuhan (Narayana) di
Vaikuntha, roh yang terbebaskan sekali waktu mengalami samsara tetapi telah
mencapai pembebasan, sedangkan roh terbelenggu terjerat samsara dan berjuang
untuk mencapai pembebasan. Roh yang terbelenggu oleh samsara memperoleh
badannya sesuai dengan karma masa lalu, yang berjalan dari kelahiran ke
kelahiran berikutnya hingga mencapai pembebasan akhir atau moksa.
Moksa dalam konsep
Wisistadwaita berarti berlalunya belenggu dari kesulitan hidup duniawi
menuju semacam surga (Waikuntha), disitu ia akan ada selamanya dalam
kebahagiaan pribadi bersama Tuhan, namun tetap tidak pernah menjadi identik
dengan Tuhan. Pembebasan akhir ini dicapai hanya dengan bhakti, karunia Tuhan
datang melalui kepatuhan (prapatti) atau penyerahan diri secara mutlak.
Pembebasan diri melalui bhakti, berkembang dua konsep, yaitu (markata nyaya)
atau teori kera, bahwa seorang bhakta harus seperti anak kera yang harus
mengusahakan dirinya tetap bergantung pada induknya (roh pribadi – Narayana),
dan yang kedua adalah (marjara nyaya) atau teori anak kucing, penyerahan
diri ketika dibawa induknya tanpa usaha bagi dirinya sendiri.
3. Filsafat Dwaita
Filsafat dwaita
dikembangkan oleh Sri Madhwacarya yang bersumber dari kitab Upanisad, Brahma
Sutra, dan Bhagawad Gita atau yang disebut dengan Prasthana Traya (tiga
kitab). Filsafat dwaita merupakan dualis tak terbatas, waisnawaisme Sri
Madhwacarya sering pula disebut dengan sad-waisnawaisme untuk membedakannya
dengan Sri-Waisnawaisme dari Ramanujacarya. Filsafat dwaita membuat bembedaan
yang mutlak antara Tuhan, obyek yang begerak dan obyek yang tidak bergerak,
pembedaan mutlak merupakan prinsip dasar dari filsafat dwaita (Atyanta bheda
darsana), disebut dengan Panca Bheda, yaitu :
- Perbedaan Tuhan dengan roh pribadi.
- Perbedaan antara Tuhan dengan materi.
- Perbedaan antara roh pribadi dengan materi.
- Perbedaan antara satu roh dengan yang lainnya.
- Perbedaan antara materi yang satu dengan lainnya.
Hari, Krishna atau
Visnu sebagai Bhagavan, Aspek Tuhan Personal merupakan perwujudan yang
tertinggi, alam adalah nyata dan perbedaan adalah kebenaran. Alam dan roh
bergantung pada Visnu, roh mempunyai derajat keunggulan dan kerendahan. Bhakti
atau kepatuhan tanpa kesalahan akan membawa manusia pada moksa atau pembebasan,
yang merupakan kenikmatan roh pribadi terhadap kebahagiaan. Pemujaan Sri Krsna
seperti yang diajarkan dalam Bhagavata Purana merupakan intisari dari ajaran
Madhwacarya. Menurut Madhwacarya, realitas obyektif teriri dari dua, yaitu yang
berdiri sendiri (sawatantra) dan yang bergantung (paratantra).
Realitas yang berdiri sendiri hanyalah Tuhan, sebagai keberadaan tertinggi.
Realitas yang bergantung terdiri dari 2, yaitu : roh-roh yang sadar (cetana)
dan kesatuan yang tidak sadar (acetana) seperti materi dan waktu.
Madhwacarya menerima
klasifikasi roh menurut Ramanuja yang digolongkan menjadi 3, yaitu : Nitya
(abadi), Mukta (bebas), dan Baddha (terbelenggu). Roh yang abadi,
selamanya bebas dari belenggu hidup dengan Tuhan (Narayana) di Vaikuntha, roh
yang terbebaskan sekali waktu mengalami samsara tetapi telah mencapai
pembebasan, sedangkan roh terbelenggu terjerat samsara dan berjuang untuk
mencapai pembebasan. Roh yang terbelenggu oleh samsara memperoleh badannya
sesuai dengan karma masa lalu, yang berjalan dari kelahiran ke kelahiran
berikutnya hingga mencapai pembebasan akhir atau moksa. Roh yang terbelenggu
juga dibagi menjadi 2, yaitu :
- Mereka yang layak untuk moksa (mukti yoga)
- Mereka yang tidak layak untuk pembebasan. Mereka yang tidak layak untuk pembebasan dapat digolongkan menjadi 2, yaitu : mereka yang selamanya terikat siklus samsara (nitya-samsarin), dan mereka yang karena karmanya akhirnya harus ada di neraka, wilayah kegelapan yang membutakan (tamo-yogya).
Sri Visnu, Krishna atau
Narayana merupakan penyebab pertama yang berpribadi, penguasa atas kecerdasan
alam semesta, Beliau tinggal di Alam Rohani yang disebut juga Vaikuntha
bersama-sama dengan laksmi dan roh-roh yang telah mencapai pembebasan. Beliau
mewujudkan diri melalui berbagai wyuha dan melalui Awatara. Visnu
merupakan antaryamin (pengendali batin dari semua roh), menjadi
pencipta, pemelihara, dan pelebur alam semesta. Laksmi merupakan perwujudan
dari daya enerji penciptaanNya.
Visnu adalah penyebab
efisien, sumber alam material, tetapi sekaligus tidak bersentuhan langsung
dengan alam material, karena prakrti merupakan penyebab material alam, semua
obyek badan, organ roh dibuat oleh prakrti, dan Tuhan memberikan energi prakrti
melalui Laksmi. Awidya menjadi energi prakrti yang mengaburkan daya-daya
spiritual dan roh-roh pribadi, yang membentuk selubung yang menyembunyikan yang
tertinggi. Mahat, ahamkara, budhi, sepuluh indriya, obyek
indriya, dan lima unsur dasar merupakan modifikasi dari prakrti dalam wujud
halus. Oleh karenanya perbedaan alam dengan Tuhan adalah mutlak, alam bukan
khayalan dan perubahan bentuk dari Tuhan.
Bhakti merupakan cara
untuk mencapai pembebasan, melalui karunia dari Sri Visnu dan pemujaan
merupakan langkah awal dari karunia Visnu. Roh-roh pribadi diselamatkan dengan
pengetahuan yang bergantung pada Tuhan, dan pengetahuan yang benar berasal dari
mencintai Tuhan. Para sisya spiritual mempersiapkan diri dengan mempelajari
Weda, mengendalikan indriya, dan penyerahan diri sepenuhnya. Penyangkalan,
kepatuhan dan pengenalan langsung melalui meditasi membawa pada pencapaian
kelepasan. Pemuja Visnu teridentifikasi dengan :
- Menandai badan dengan simbol-simbolnya (Ankana).
- Pemberian nama Tuhan pada anak-anak (Namakarana).
- Menyanyikan kemuliaannya (Bhajana).
- Mengingat- nama Tuhan secara terus-menerus (Smarana).
0 komentar:
Posting Komentar