FILSAFAT
WEDANTA
ALIRAN
WASISTADWAITA DAN PEMIKIRAN TOKOHNYA - ALIRAN DWAITA DAN PEMIKIRAN TOKOHNYA
Tugas:
Membuat Makalah Hinduisme
Oleh:
Moh
Muhyidin
1111032100052
PENDAHULUAN
Pemecahan
sangkara terhadap persoalan yang di timbulkan Upanisad yaitu bahwa Brahman, di
satu pihak di anggap sama dengan jiwa perorangan dan dengan dunia, akan tetapi
di lain pihak di bedakanya, ternyata belum memuaskan segala pihak. Pembedaan
sangkara antar Brahman yang tidak bersifat, dan Brahman yang bersifat (Nirguna
dan Saguna Brahman) belum dapat di terima oleh semua golongan. Setelah jaman
sankara timbul lah perdebatan tentang Brahman, yaitu apakah Brahman harus di
pandang sebagai tanpa sifat (Nirguna) atau sebagai sifat (Saguna).[1]
Pemecahan yang
lain diberikan oleh Ramanuja (1050-1137). Ia berusaha mempersatukan ajaran
sekte Wisnu dengan filsafat Wedanta. Ramanuja menulis buku berjudul Sri Bhasya dan menulis komentar tentang
Bhagawadgita. Aliranya di sebut dengan Wasistadwaita. Wasistadwaita berasal
dari kata Wasista dan dwaita. Wasista berarti “yang di terangkan” atau “yang di
tentukan” yaitu oleh sifat-sifatnya. Jadi Brahman yang satu itu diberi
keterangan oleh sifat-sifatnya.[2]
Cara Ramanuja
menjelaskan pandanganya itu adalah dengan mempergunakan “cara orang memakai bahasa”
pada umumnya. Di dalam kenyataan sehari-hari kita sering mengidentikkan hal-hal
yang sebenarnya berbeda; umpamanya Mawar
adalah merah. Mawar adalah Subtansi, sedangkan merah adalah suatu sifat.
Jadi keduanya tidaklah sama. Akan tetapi kita menguraikanya seolah-olah
keduanya itu sama: “mawar adalah merah” suatu teladan yang lain. Dimana kita
menyamakan dua hal yang berbeda ialah di dalam ucapan: “aku seorang laki-laki”.
Aku adalah jiwa yang hidup sedangkan orang laki-laki adalah bentuk yang fana.
Oleh karena itu keduanya tidaklah sama, namun di identikkan juga. Ucapan-ucapan
seperti yang terdapat pada kedua contoh ini memang tidak dapat di kenakan
kepada orang dan pakaian atau orang dan
tongkat sebagainya. Tidak dapat dikatakan “orang itu adalah pakaian dan
sebagainya. Akan tetapi dapat dikatakan bahwa “orang itu memiliki pakaian” atau
orang itu memiliki tongkat.
Dengan demikian
jelaslah bahwa:
a)
Hubungaan
antara “Mawar” dan “Merah” serta “Aku” dan “Seorang laki-laki” berbeda dengan
hubungan antara “orang dengan pakaian atau tongkat”. Pada contoh yangpertama
hubungan kedua unsur itu lebih erat antara mawar dan merah dibandingkan dengan
orang dan pakaian atau orang dengan tongkat.
b)
Bahwa
hubungan yang terdapat pada orang dan pakaian atau tongkat itu hanya mewujudkan
suatu penggabungan belaka.
Hubungan
yang terdapat antara “Mawar dan Merah” antara “aku dan orang laki-laki” adalah
merupakan hubungan yang tidak dapat dipisahkan, kalau pada “Mawar dan merah”
merupakan hubungan subtansi dan sifat, sedangkan hubungan antara ”aku dengan
orang laki-laki” adalah hubungan subtansi rohani dan subtansi badaniah (jiwa
dan tubuh = aku dan laki-laki). Hal ini menyatakan bahwa kata yang pertama
dinyatakan oleh kata yang kedua (mawar diterangkan oleh merah, jiwa diterangkan
oleh laki-laki). Keduanya tidak bisa dipisahkan hubunganya (parthak siddhi).
Dengan demikian pula halnya hubungan antara Brahman dengan jiwa dan Brahman
dengan dunia, hubungan antara dua subtansi yakni yang satu rohani dan yang satu
lagi badani. Baik jiwa maupun dunia tidak dapat digambarkan lepas dari pada
Brahman. Hubungan antara Brahman dan jiwa sama dengan hubungan antara jiwa
dengan badan manusia. Demikian juga ubungan antara Brahman dan dunia. Brahman
adalah jiwanya dunia, yang sekaligus menjiwao jiwa manusia. Ketiganya dapat di
gambarkan sebagai dua lingkaran yang berpusat satu. Pusatnya adalah Brahman,
sedangkan jiwa adalah lingkaran yang kecil, dan dunia adalah lingkaran yang
kecil, dan dunia adalah lingkaran yang besar, yang berada diluar. Jikalau
demikian, maka dapat dikatakan ketiga-tiganya, Brahman jiwa dan dunia adalah
sama-sama nyata (riil) namun tidak sama, tidak identik, tidak ada pada dataran
yang sama, seperti halnya dengan jiwa dan badan manusia adalah sama-sama nyata
(riil) namun tidak identik.[3]
Kesimpulanya
adalah bahwa Brahman, jiwa dan manusia memang berbeda, tetapi tidak dapat
dipisah-pisahkan, sekalian tiga-tiganya adalah kekal. Tekanan diletakkan pada:
berbeda tetapi berhubungan yang erat sekali.
Ajaran
Adwaita menekankan bahwa tidak dualisme, sebab Brahman adalah satu. Di dalam
Wasistadwaita di tekankan bahwa yang satu itu diterangkan atau di tentukan oleh
sifat-sifatnya, Brahman yang tunggal itu menjelma dalam jiwa dan manusia serta
menjiwai kedua-duanya. Pendirian yang demikian itu diterapkan kepada segala
ucapan, umpamanya disebutkan; “bunga teratai biru” ini adalah merupakan satu
kesatuan, yabg terdiri dari;
a)
Subtansi
benda yaitu bunga.
b)
Penguraiannya
dengan kedua kualitas yang berbeda keadaannya dengan subtansi tadi, yaitu kualitas,
“kebiruan” dan “keterataian”, semua ini sangat bergantungan, unsur yang kedua bergantung
kepada unsur yang pertama secara tak terpisahkan. Ketiga unsur itu berada
secara simultan atau pada waktu bersamaan.
Suatu
contoh yang lain, jika melihat seorang jejaka, disebut “itu orang”. Orang
tersebut dua puluh tahun yang lalu adalah bayi. Jadi jejaka dahulu bayi
sekarang sudah jejaka, tetapi orangnya sama. Hal ini menunjukkan jiwa yang
semula menjelma pada bayi itu sekarang menjelma pada jejaka. Jiwanya adalah
satu. Disini ketiga unsur; jiwa, bayi dan jejaka, saling bergantungan, dan
bahkan berada pada waktu yang bersamaan, melainkan waktu yang berurutan.[4]
Kesimpulanya ialah baik yang dijelmakan maupun yang
dikwalifisir adalah sama, sedangkan unsur yang menjelmakan atau yang
mengkwalisir berbeda, sekalipun tidak dapat dipisahkan. Dasar pemikir Ramanuja
banyak yang memberi pujian dalam hal pemecahan masalah Wasistadwaita ini, sebab
secara formal memang memecahkan kesukaran-kesukaran yang di timbulkan upanisad,
yaitu bahwa disatu pihak Brahman dibedakan dengan jiwa dan dunia tetapi di lain pihak disamakan
juga.
Ramanuja berpendapat; “Memang benar Brahman berbeda
dengan jiwa dan berbeda dengan dunia” tetapi dia juga mengatakan “Memang benar
Brahman sama dengan jiwa dan sama dengan dunia ketigannya tidak dapat
dipisahkan. sekalipun demikian perlu dipersoalkan apakah pemisahan ini sehat ?
sekalipun ada unsure-unsur kebenaran dalam pandangan Ramanuja ini akan tetapi
sukar untuk di anggap sebagai sosok dengan keseluruhan ajaran Upanisad. Unsur-unsur
kebenarannya adalah:
1) Tuhan atau Brahman berbeda dengan jiwa
dan berbeda dengan dunia.
2) Tuhan adalah pengawas dan tidak ada
akhir-akhirnya yang berbeda dalam jiwa dan didalam dunia ini.
Mengenai
kategori-kategori diajarkan, bahwa ada dua kategori yaitu: subtansi dan yang
bukan subtansi yaitu kualitas atau sifat.
Yang
dimaksud dengan subtansi adalah apa yang mengalami perubahan. Sekalipun
Ramanuja mengajarkan adannya enam subtansi namun yang akan di bicarakan disini
hanya tiga saja yang menjadi pembicaraan yang penting.
4. Dwaita
Aliran ini menganggap dirinya sama
tuanya dengan Upanisad, tidak ada yang dapat menentukan apakah anggapan itu
benar ? yang jelas ialah orang yang terkenal atau sebagai tokoh yang terkenal
atau sebagai tokoh aliran ini adalah madhwa (1199-1278), jika kita perhatikan
dari masa kehidupan para tokoh aliran wedanta ini, madhwa yang paling muda.[5]
Dwaita
mula-mula berpengaruh dibagian barat india, akan tetapi kemudian pengaruhnya
menjalar kebagian yang lebih luas. Madhwa sangat berpengaruh pada saat itu
sehingga dikenal sebagi Purnaprajna artinya:
orang yang telah mendapat fikiran yang
sempurna. Madhwa juga di panggil oleh orang tuanya dengan nama Wasudewa. Hasil karyannya yang
gterkenal ialah komentar atas kitab-kitab
Upanisad. Atas kitab Bhagawadgita
dan Wedanta – sutra serta beberapa
tulisan lainya.
Sistim
? Wedanta seperti yang dianjurkan oleh Madhwa disebut Dwaita (dualis) sebab menurut Madhwa pokok-pokok ajaran filsafatnya
adalah perbedaan (bheda). Sistim ini disebut juga realistis karena mengakui
bahwa dunia ini nyata bukan maya. Akhirnya sistim ini juga bersifat theitis,
karena menerima adanya Tuhan yang pribadi sebagai satu-satunya kenyataan yang
berdiri sendiri (swatantra) dengan kata lain Madhwa mengakui/percaya. Dengan
adanya manifestasi dari Tuhan yang beraneka ragam.[6]
Dasar
ajaran Madhwa adalah mengakui adanya kenyataan yang beraneka ragam di dunia
ini, semua mampu mempunyai cirri dan sifat tersendiri, sehingga menimbulkan
perbedaan-perbedaan. Pada prinsipnya perbedaan itu adalah segala sesuatu yang
mempunyai wujud tersendiri. Umpama; sapi sendirinya berbeda dengan kambing.
Menyebut sapi dengan sendirinya menunjuk perbedaannya dengan kambing dan
sebaliknya, menyebut kambing dengan sendirinya menunjuk kepada perbedaan
kambing dengan sapi. Oleh karena itu sebenarnya orang tidak mampu mengetahui du
hal sekaligus, guna untuk mengetahui
perbedaan kedua itu demikian pula halnya dengan filsafat tidak mampu
membedakan sekaligus, tanpa mengenal satu persatu terlebih dahulu.
Menurut
Madhwa di dunia ini ada lima macam perbedaan yaitu:
1)
Perbedaan
antara Tuhan dengan Jiwa,
2)
Perbedaan
antara Jiwa dengan Jiwa yang lainya,
3)
Perbedaan
antara Tuhan dengan benda
4)
Perbedaan
antara Jiwa dengan benda,
5)
Perbedaan
antara benda yang satu dengan benda yang lainya.
Semua
itu berbeda berbeda secara mutlak, sekalipun perbedaan itu tidak berarti bahwa
semua itu tidak saling bergantungan umpamannya; tubuh bergantung dari pada
jiwa, sekalipun keduannya sangat berbeda sekali. Hanya ada satu hal yang tidak
bergantung pada hal yang lain yaitu adalah Tuhan, tetapi sebaliknya yang lainya
bergantung pada Tuhan.
Tuhan
, jiwa dan benda ketigannya sama-sama kekal adannya, sekalipun demikian hanya
Tuhan yang merdeka dan bebas, yang bergantung pada siapapun dan apapun. Tuhan
adalah kenyataan yang tertinggi dan memiliki sifat-sifat yang kaya sekali.
Walaupun tuhan dapat di mengerti, akan tetapi Tuhan tidaak dapat dikenal oleh
umat secara menyeluruh dan secara sempurna. Tuhan yang berhakekat-kan
pengetahuan dan kegirangan itu adalah suatu pribadi, yang memiliki suatu
kepribadian yang mutlak.
Menurut
Madhwa bahwa didunia ini ada banyak jiwa yang tidak terhingga jumlahnya. Tiap
jiwa berbeda dengan jiwa yang lain. Itulah sebabnya tiap orang memiliki
pengalaman sendiri-sendiri, memiliki cacat sendiri, memiliki sengsara sendiri,
dan seterusnya. Jiwa-jiwa itu berbentuk atom akan tetapi karena dipengaruhi
oleh ikatan duniawi (nafsu) maka jiwa ini ikut menderita atau bahagia, padahal
sebenarnya jiwa itu kekal dan abadi penuh kebahagiaan. Oleh karena di bungkus
oleh karma wesana maka jiwa-jiwa itu
ikut menderita, sengsara dan pada
saatnya akan kembali numitis ke dunia ini.[7]
Secara
umum dijelaskan bahwa jiwa yang ada didunia ini mempunyai tingkatan-tingkatan
yaitu:
1. Jiwa-jiwa yang bebas secara kekal
(nitya), seperti umpamannya Laksmi, istri atau sakti Wisnu,
2. Jiwa-jiwa yang telah mencapai kelepasan dari sengsara (mukta) yaitu para
Dewata, para Rsi dan nenek moyang yang telah mendapat kelepasan,
3. Jiwa-jiwa yang terbelenggu (baddha),
oleh segala papa dan dosa, jiwa terbelenggu ini ada dua kelompok yaitu:
§ Jiwa-jiwa yang masih dibebaskan (mukti
yogya),
§ Jiwa-jiwa yang tidak dapat dilepaskan
lagi, ini terdiri dari dua jenis juga yaitu:
a. Jiwa yang untuk selamanya terikat akan
hukum samsara.
b. Jiwa-jiwa yang terus diikat oleh hukum
samsara yang lebih rendah yakni jiwa yang dilahirkan menjadi jenis yang lebih
rendah, hal ini tergantung pada jenis papa dan dosa yang dideritanya.
Ajaran
Dwaita tentang proses terjadinya pengetahuan pada umumnya sama dengan ajaran
Nyaya dan Waisesika, akan tetapi ajaranya tentang pengetahuan itu sendiri ada
bedannya. Menurut Dwaita pengetahuan adalah suatu bentuk dari alat-alat
(manas), sehinnga pengetahuan itu bersifat pada manas, bukan pada pribadi
manusia. Namun dalam proses pengetahuan itu sendiri manusialah yang menjadi
pelakunnya, sebab pribadi manusialah yang memprakarsai proses itu, sehingga ada
hubungan antara pribadi manusia dan pengetahuan yang timbul.
Pengetahuan
yang benar adalah pengetahuan yang sesuai dengan kenyataan yang ada di luar
manusia. Pengetahuan yang salah juga memiliki obyeknya. Adapun obyeknya ialah
“apa yang tidak ada” (asat). Hal ini diterangkan demikian; orang memiliki
seutas tali sebagai seekor ular (kenyataannya tidak benar). Aliran Nyaya –
Waisesika mengajarkan, bahwa ular itu ada, sekalipun bukan di tempat itu,
melainkan di tempat lain. Dwaita berpendapat, bahwa ular itu tidak ada, baik di
tempat itu, maupun di tempat lain. Kesalahan pengetahuan itu adalah bahwa apa
yang tidak ada di sangka ada. Obyek pengetahuan yang salah memang tidak ada
secara kenyataan, hanya bayangan saja yang menyebutkan ada seperti melihat
ular, padahal tidak ada ular yang ada hanya tali saja,. Orang-orang pada
umumnya bingung, menyangka yang sesungguhnya tidak ada dikatakan ada; hal ini
di sebabkan oleh kegelapan pikiran manusia yang disebut dengan Awidya.
KESIMPULAN
Berdasarkan
uraiaan tersebut di atas dapatlah disimpulkan materi pokok yang di uraikan
dalam filsafat Wedanta antara lain mengenai; Brahman, Atman/Jiwa dan Dunia.
Pandangan terhada masalah ini timbul bermacam-macam pendapat sehingga
menimbulkan aliran-aliran filsafat Wedanta.
1.
Aliran
Wasistadwaita, dipelopori oleh Ramanuja yang mengajarkan bahwa di samping Brahman
itu Nirguna Brahman, Jiwa dan dunia memang ketigannya berbeda dan sama-sama
kekal, tetapi tidak dapat di pisahkan, merupakan satu-kesatuan organis. Brahman
menciptakan dunia ini betul-betul pernama melalui prakerti Brahman. Tujuan
hidup menurut Ramanuja adalah untuk mencap[ai alam Narayana, menikmati
kebebasan dan kebahagiaan yang sempurna.
2.
Aliran
Dwaita dipelopori oleh Madhwa, pokok ajaranya adalah perbedaan (bheda),
mengakui kenyataan yang beraneka ragam di dunia ini dengan cirri dan sifat
tersendiri, sehingga menimbulkan perbedaan. Dengan jiwa dan berbeda pula dengan
dunia, sebab semuannya mempunyai ciri dan sifat tersendiri, tetapi semuanya
saling bergantungan; dunia bergantung kepada Jiwa, Jiwa bergantung pada Brahman
tetapi bukan sebaliknya. Tujuan hidup menurut Madhwa adalah untuk melepaskan
diri dari segala keterikatan dengan jalan meninggalkan Awidya (kebodohan).
DAFTAR PUSTAKA
§ Ali, Matius. Filsafat India (Pebuah Pengantar Hinduisme). Tangerang : Sanggar
Luxor, 2010.
§ Ali, Mukti. Agama-agama Dunia, Yogyakarta : IAIN Sunan Kalijaga press, 1988.
§ Hadiwijono, Harun, Sari filsafat india, Jakarta: Gunung Mulia, 1989
§ Honig, ilmu agama, Jakarta: Gunung Mulia, 2009
§ Suarjaya I Wayan, yayasan Dharma sarathi, Jakarta. Tahun 1990.
§ Hiriyanna, M. outlines of Idian Philosophy, Lodon : George Allen & Unwi Ltd.,
1964.
0 komentar:
Posting Komentar